Wednesday, May 23, 2012

Warkop dan Penggila Bola di Sepenggalah Malam



Saya tidak tahu di belahan dunia lain, Medan di malam hari menjadi milik para insomniac dan penggila bola. Berbagai warung pinggir jalan menyediakan televisi dan kopi. Tak tanggung-tanggung, televisinya pun sudah layar datar dan minimal 20 inci. Sebagian sudah berlangganan TV kabel.

Bagi mereka biaya pemasangan TV ini tak lagi mahal. Harga flat TV sudah semakin murah, berbekal uang Rp 3 juta saja sudah dapat TV bermerek lumayan. Langganan TV berbayar pun tak menguras kantong terlalu dalam, karena paket langganan TV kabel sekarang sudah ada yang Rp 50 ribu per bulan.

Di musim bola, warung-warung itu nyaris tak pernah sepi. Mulai warung skala besar yang berisi lima hingga 10 meja, sampai warung amigos (agak minggir got sedikit). Pemilik warung amigos biasanya akan menyimpan kursi-kursi dan meja plastik di pojok, khusus disiapkan saat pertandingan besar ditayangkan. Jelang partai final atau pertandingan dua klub papan atas, kursi-kursi itu mangambil separuh badan jalan raya.

Sehabis musim bola, warung berangsur surut. Tapi TV kabel tetap menyajikan siaran bola, meski   hanya siaran tunda atau berbagai classic match yang disiarkan stasiun TV. Pengunjung warung tetap menikmatinya.

Saking gila bola, ada pemilik warung menamai warungnya dengan nama klub bola dan memasang bendera klub disamping papan namanya. Ada warung Liverpool, Arsenal, dan ada juga yang diklaim sebagai warungnya pencinta klub Barcelona.

Sayangnya, belum ada saya dengar warung PSMS (Persatuan Sepakbola Medan Sekitarnya). Tapi agaknya cukup bisa dimaklumi kalau nama PSMS itu tidak jadi pilihan. Prestasi PSMS sendiri masih jauh api dari panggang. Tak membanggakan. Mungkin butuh tiga, lima, sampai sepuluh tahun lagi nama itu akan bersinar di hati pemilik warung.

Sebentar lagi event bola dunia akan digelar. Malam di Medan tak akan senyap. Jalan-jalan akan semakin sempit, berbagi tempat dengan kursi penonton. Warung yang biasa tutup sore akan benderang hingga pagi. Di saat seperti ini, saya makin mencintai Medan.

Thursday, May 17, 2012

Martabak Berkuah Rempah asal Negeri Bollywood

MALAM - Pusat kuliner Pagayurung ini hanya buka di malam hari. Posisinya persis di tengah kota Medan, tidak jauh dari Sun Plaza.

Martabak telur terbaik  di Medan, menurut saya hanya ada di Jalan Pagaruyung, Kampung Madras, tak jauh dari Kuil Shri Mariamman. Pusat kuliner ini tak jauh dari Sun Plaza, Jl Zainul Arifin. Gak nyampe lima menit jalan kaki!

Menurut cerita, pusat jajanan yang hanya buka saat matahari tenggelam ini (hiii kayak Dracula ya? Wkwkwk) sudah ada sejak era 1970-an. Para pedagangnya kebanyakan orang keturunan India. Dari cerita-cerita pula, para pedagang di tempat ini kebanyakan masih satu keluarga .

Lepas magrib (pukul 18.30-an), biasanya kesibukan di seruas jalan di belakang Kuil Shri Mariamman mulai berdenyut. Ada sekitar 30-an warung tenda yang bersiap melayani jelajah kuliner kita. Menunya beragam, mulai dari nasi goreng, sate kacang, sate padang, kwe tiau, roti cane, martabak india, nasi lemak, roti tisu, kerang rebus, hingga macam-macam jus segar.

Kalau sih, biasanya mampir ke tempat ini untuk beli martabak dan roti cane. Seperti awal cerita, martabak telur terbaik di Medan menurut saya adanya di tempat ini. Dari ujung ke ujung, semua martabak yang dijual di lokasi ini nikmat!

Gurihnya rempah adonan martabak dan lemaknya kuah kari kental, tak terlupakan. Sajian kuliner ala India ini disajikan di atas nampan piring aluminium, lengkap dengan irisan acar timun, bawang, dan cabai. Sangat India!!



DICOCOL KUAH KARI -  Martabak di Pagaruyung, Kampung Madras, Medan sangat nikmat dinikmati dengan dicocol langsung ke kuah kari yang kental. Yummy!

Martabak ini memang dimasak langsung oleh koki berdarah Negeri Bollywood. Aroma rempah yang meruap dari kuah kari bersantan itu sangat khas dan tajam. Bikin nagih, makan sekali rasanya nggak nendang.

 
CANE - Roti cane atau di kota lain biasa disebut roti Maryam. Bisa dimakan dengan gula pasir atau ditemani kuah kari.

Menu lain yang tak kalah asyik untuk dinikmati adalah roti cane. Rasa kue dari campuran tepung berbentuk abstrak ini sebetulnya  hambar. Untuk menikmatinya roti cane, kita harus  mencocol  pakai gula atau kuah kari. Konon, Adam Malik, Wakil Presiden Indonesia di awal 1980-an termasuk penggila Roti Cane. Tapi Bung Kecil itu demennya ama roti cane di Pematang Siantar, kota tempat lahir dan besarnya.

Sensasi paling menyenangkan saat memesan roti cane adalah melihat pembuatannya. Adonan tepung disiram di atas loyang pemanas bak martabak. Setelah dibolak-balik hingga matang, adonan bulat pipih yang cantik ini dilipat, lantas dicacah dan rusak dengan sodet. Bagian perusakan ini favorit saya. Alhasil serupa kue pie yang nyaris hancur ini ditaburi gula. Siap dinikmati. Gimana? Pengen nyoba? Datang segera ke Medan Bung! (*)



SEDERHANA - Pusat kuliner Pagaruyung sudah ada sejak era 1970-an. Meski legend, tapi kondisinya masih sederhana, tidak ada warung permanen dan semua sistem knock down. Mungkin ini pula faktor yang bikin harga makanan di tempat ini masih terjangkau. Padahal jika ditata dengan serius, lokasi ini bisa lebih yahud.


Plus
- Banyak menu makanan khas India yang masih bercitarasa asli Negeri Gangga
- Harga-harganya tergolong terjangkau
- Pedagang ramah, dan mau menjelaskan menu-menu yang mungkin asing di telinga
- Kebanyakan makanan halal karena dimasak oleh India muslim




Minus

- Banyak pengamen dan pengemis yang datang silih berganti
- Toilet terbatas dan agak jauh di ujung jalan
- Banyak nyamuk di kolong meja. Barangkali karena lokasi jualan yang dekat parit dan gelap

Wednesday, May 9, 2012

Segarnya Rujak Kolam Sri Deli Medan


"Rujaknya Dik.. Mari mampir," seru Murni, pedagang rujak kolam di Taman Kolam Sri Deli, menyeru pada pengendara sepeda motor yang melintas pelan.

Pengendara melengos melajukan kendaraan. Namun tak berapa lama, pengendara lain parkir di depan warung Rujak Gumarang, milik Murni.


Murni pun beringsut menaikki bangku di bawah stelling. Dengan cekatan perempuan 41 tahun itu mencampurkan cabai, garam, adonan kacang tanah dan gula merah.

Suaminya, Budi, memotong-motong buah segar. Aroma nanas, jambu air, timun, dan mangga meruap bercampur dengan legitnya gula merah yang meleleh. Budi pun menambahkan cita rasa kedondong, jambu klutuk, pepaya, dan bengkuang.

"Kalau selera, bisa ditambah pir atau belimbing," ujar Budi.


Sekejap potongan buah itu dicampur ke dalam adonan bumbu pekat berwarna cokelat di atas penggilingan batu yang kokoh. Adonan buah dan bumbu diletakkan di piring ditaburi taburan kacang yang digiling kasar.

Budi meletakkan sendok plastik dan menusukkan lidi di atas olahan buah yang dijualnya Rp 12 ribu per porsi itu.

"Satu yang paling khas dari Rujak Kolam ini adalah campuran pisang batu pada bumbunya. Pisang ini membuat bumbu menjadi lebih kental," ungkap pria yang sudah menjalankan usahanya selama 15 tahun ini.
Pisang batu bukan hanya membuat bumbu rujak menjadi kental, namun juga sarat manfaat bagi si pemakan rujak.

"Pisang batu ini obat sakit perut, cocok bagi penyuka rujak yang suka bermasalah dengan perut," ujar Budi.



Pisang batu, menurut Murni, kini banyak digunakan penjaja rujak lainnya. "Beberapa tukang rujak Aceh yang saya tahu juga sudah menggunakan pisang batu, adonan bumbu rujak memang jadi beda dengan campuran pisang ini," tandasnya.

Budi dan Murni adalah generasi kedua yang meneruskan roda usaha rujak Padang atau terkenal dengan rujak kolam di Taman Kolam Sri Deli. Keluarga Murni yang asli Padang adalah satu di antara keluarga pedagang Rujak Kolam. Ternyata, rujak di Padang pun tak seperti rujak kolam buatan Murni dan Budi.

"Rujak di sana tak pakai pisang batu, tapi pakai ubi rambat, rasanya pun tak seenak rujak di sini,"ujarnya.

Kunci kelezatan rujak kolam menurutnya ada pada campuran gula dan kacang tanah. Resep ini dikatakan Murni dimiliki oleh seluruh pedagang Rujak Kolam yang didominasi para pedagang yang saling terikat hubungan keluarga.

"Yang membedakan itu olahan tangan, tergantung siapa yang menggiling bumbunya, lain tangan lain rasanya," imbuh Murni.


Rujak Padang, dari manapun asalnya, sudah menjadi kebanggaan kuliner Medan. Tak sedikit yang menyukainya. Murni dan Budi punya pelanggan tersendiri.

Hal ini yang membuat mereka tidak merasa terganggu dengan keberadaan pedagang-pedagang yang masih baru. "Kami punya pelanggan masing-masing," ujar Murni.

Dan warung rujak berukuran sekitar 4 x 5 meter itu pun tak susut pendatang. Murni dan Budi bergantian melayani konsumennya. Setiap hari warung itu buka dari pukul 08.00 hingga pukul 00.00. "Jarang sunyi, pas hujan pun banyak yang cari," ujar Murni.

Enggan menyebutkan omzet, Murni hanya bertutur tentang kesibukkannya belanja stok buah. "Kadang mau juga dua kali belanja, sekali belanja 20 kg buah, paling banyak jambu air, karena jambu air itu yang paling dominan di rujak ini, bikin tampilannya makin cantik,"terangnya.(kalandaru)

Simpang Sumber Padangbulan



HANYALAH pintu kecil masuk ke Kampus USU , namun jalan yang buruk dan sempit ini justru memiliki nama besar di banding pintu lain.Jelang jatuhnya Presiden Soeharto,  warung kopi di seputaran Simpang Sumber jadi pusat para aktifis  reformasi berdiskusi dan menyusun kekuatan.

Olympia Plaza

foto:http://henryhalim.blogspot.com/

INILAH plaza tertua di Medan. Beroperasi tahun 1984 di Jl MT Haryono, atau sekarang persis di sebelah  Medan Mall. Plaza berlantai 9 ini menjadi simbol dan pusat gaya hidup urban di era 80-an.

Pajak Ular: Teliti Sebelum Diulari!

foto:jejakjurnalis.blogspot.com

PAJAK ULAR, itulah nama tempat perdagangan barang bekas di Jl Sutomo, simpang Jl Veteran, Medan ini. Namanya unik! Dan tentu saja sangat Medan banget. Pajak bagi orang Medan itu sebutan untuk Pasar, bukan pajak dalam artian cukai, atau setoran wajib untuk negara.

Jadi kalau kau lagi di Medan, dan ingin pergi ke pasar, cukup bilang ke tukang becak," Bang, ke Pajak Sambu," atau ,"Mamak mau pigi ke Pajak Simpang Limun! Jaga rumah baek-baek. Jangan biarkan adekmu ke pasar hitam!!".

Eit, apa pulak itu Pasar Hitam? Hihihi, nah orang Medan justru memakai kata "Pasar" untuk bilang jalan raya. Biasanya jalan beraspal, walau kadang dipakai juga untuk jalan kecil.  Makin bingung?? Masalah kaulah itu. Hahahah.

Balek ke Pajak Ular.  Inilah tempat jual beli barang bekas tertua di Medan. Seumuran sama Pajak Sambu yang jaraknya hanya sepelemparan batu.Tapi jangan dibayangkan, kau akan menemukan kios-kios atau los jualan seperti jamaknya pasar. Sebab di Pajak Ular, pedagang dan pembeli bertransaksi di trotoar/kaki lima.

Para pedagang biasanya membawa tas atau koper. Begitu datang langsung buka lapak sesukanya. Maka tak heran, jika hari ini kita bertemu Bang Lubis di depan lampu jalan yang strategis. Besoknya Bang Lubis karena terlambat dapat lapak di deket comberan yang bau busuk.

Barang-barang yang dijual di Pajak Ular sangat beragam, mulai dari prangko, koin-koin jadul, kaset lawas, piringan hitam, hape-hape rusak, sepatu rombeng, sampai teropong bintang. Tapi mohon dicatat baek-baek,semua barang itu kondisinya bekas bahkan cenderung nyampah di rumah. Tapi herannya, ada aja yang beli di tempat ini.

Kawasan Pajak Ular di Sambu ini di era 80-an hingga 90-an dikenal sebagai daerah bronx-nya Medan. Segala macam kriminal ada di sini. Mulai dari tukang copet, perampok hingga residivis yang bersiap cari mangsa. Begitu kesohornya, hingga sampai sekarang kalau ada yang ngaku-ngaku sebagai "Preman Sambu", orang Medan atau Sumut akan jeri.

Pajak Sambu sendiri merupakan gabungan tempat perdagangan dengan terminal. Konon, dulu di era 50-an semua bus dari luar kota yang masuk ke Medan  pasti nurunin dan naikin penumpang di Pajak Sambu. Tapi kini terminal yang sekaligus pajak itu hanya melayani trayek-trayek dalam kota. Macam Sambu- Padangbulan, Sambu-Belawan, Sambu-Amplas, dan lain sebagainya. Sisa-sisa bronx-nya kawasan ini masih ada sampai sekarang. Contohnya: Tukang copet masih banyak berkeliaran . Waspada kalau sudah di lokasi ini.

Tak jauh dari Tugu Apollo (tugu yang mirip roket zaman  NASA pertama ke luar angkasa) ada hotel-hotel tua. Salah satu yang terkenal Hotel Belinun Jaya.Sekarang hotel ini hanya jadi tempat transaksi seks para WTS tua, atau WTS-WTS yang  sudah kalah bersaing dengan pendatang baru.


Di Pajak Ular, geliat kriminal juga ada. Barang-barang yang dijual misalnya, tidak semuanya barang baik-baik. Ada barang-barang panas, hasil curian. Penulis waktu masih aktif jadi wartawan unit Poltabes Medan, pernah ikut penggerebekan  penampungan barang curian di Pajak Ular. Pencuri, pembeli dan penadah ketangkul (ketangkep)  semua!.

Meski rawan kriminal, tapi herannya Pajak Ular selalu ramai dikunjungi masyarakat. Para pedagang mulai berjualan di tempat ini jelang Ashar hingga Magrib. Hanya beberapa jam, tapi tak pernah sepi.

Satu yang perlu dicamkan jika ingin jual beli di Pajak Ular, selalulah pandai-pandai menawar dan jeli mengamati barang yang ingin dibeli. Kalau lengah, alamat anda bisa diulari alias ditipu. Itulah sebabnya tempat ini dijuluki Pajak Ular. Tempat berkumpulnya para pedagang dan pembeli yang bisa saja sewaktu-waktu saling menipu (mengulari). Memang tidak semua pedagang mau menipu, tapi tetaplah waspada. Jangan begitu tiba di rumah, anda menyesal karena barang yang anda beli ternyata rongsokan tak berharga. Kalau sudah begitu orang Medan akan nimpali," Ah...udah diulari kau kawan!!!"(*)




PLUS
- Surganya barang bekas di Medan
- Jika pandai menawar dan jeli, bisa dapat barang bekas kondisi mantap berharga miring
- Lokasi di tengah kota, dan mudah dijangkau


MINUS
- Rawan kriminal, lengah dikit hilang dompet
- Jika tidak jeli, bisa beli barang "panas"

Flyover Amplas

foto: http://sectiocadaveris.wordpress.com/

MERUPAKAN jembatan layang (flyover) kedua yang dimiliki Kota Medan. Flyover ini terbukti berhasil mengurai kemacetan yang biasanya terjadi di persimpangan Amplas dan Patumbak. Meski jalur bawah masih sesekali tersendat saat jam sibuk, namun jalur flyover tujuan luar kota tetap lengang.

Jembatan layang ini memiliki panjang 1,45 Km. Mulai dibangun Juli 2007 dan diresmikan pengoperasiannya pada 14 September 2009. Pembangunan jembatan ini menelan biaya Rp 87 miliar.

Sun Plaza


PLAZA di Jl KH Zainul Arifin ini merupakan pioner plaza modern berdesain artistik di Medan. Tak hanya itu, Sun Plaza hadir mengusung konsep lebih segmented dan menyasar  kalangan menengah atas

Monumen Kereta Api Medan

foto: http://papilukas.blogspot.com/


DI dekat stasiun besar kereta api Medan terdapat monumen kereta api. Bentuknya sangat sederhana, hanya satu unit lokomotif uap buatan Hartman Jerman  tipe 2-6-4T  lansiran 1914 yang dipajang di ujung stasiun.

Oukup


MANDI uap tradisi masyarakat Karo ini mudah dijumpai di Kota Medan. Oukup diyakini dapat menyembuhkan beragam penyakit.Sauna di oukup menggunakan bahan-bahan tradisional  dan alami yang sudah lama dikenal masyarakat Tanah Karo.

Asrama Haji Medan


ASRAMA
Haji Medan  di kawasan Pangkalan Mashur  ini mulai dibangun tahun 1970. Bertujuan untuk menampung jamaah calon haji dari Sumut dan Aceh sebelum diterbangkan ke Tanah Suci.Selain mess, tempat ini memiliki masjid, aula, klinik, bank dan tempat penukaran uang riyal.

Wednesday, April 25, 2012

Kok Tong Bukan Sekadar Kopi

Yuen Yang Dingin dan segelas Air Jali 


Pisang goreng Kok Tong lengkap dengan selainya.

Kopi bukan hanya tentang rasa. Kopi bisa jadi candu yang mencairkan suasana. Seperti suasana saban siang di Kok Tong, warung kopi asli Siantar yang disulap menjadi kafe di Medan.

Meski terletak di dalam kota besar, Kok Tong tetap memunculkan sifat asli penikmat kopi di Siantar. Rasakan nikmatnya menikmati kopi bersama teman, sambil menghirup berbatang-batang rokok. Yang sendirian, tenggelam dalam laptop atau tablet di pojok ruangan tanpa asap rokok.

Kok Tong menyediakan beragam rasa kopi. Kopi asli yang biasa disebut Kopi O adalah kopi yang diolah sendiri di Siantar. Disajikan panas di dalam cangkir sedang bergambar cap Kok Tong.

Selain itu pengunjung bisa mencicipi beragam varian seperti kopi susu, cappuchino, atau Yuen Yang-sejenis paduan kopi, teh, dan susu. Tapi jangan berharap ada makanan berat di sini. Menyasar masyarakat yang senang bergaul, kafe dan warung Kok Tong hanya menyediakan makanan ringan seperti roti bakar dan pisang goreng.

Di Medan suasana Kok Tong berada di dalam ruangan berpendingin di dalam mall. Pengunjung duduk di kursi-kursi rotan sintetik, Kok Tong pun menyediakan bangku semisofa. Seperti kafe kopi pada umumnya di Medan, mungkin kafe ini biasa saja.

Agaknya yang membuatnya senantiasa ramai memang suasananya yang nyaman dan harganya yang relatif terjangkau. Keaslian kopi bercap Pematangsiantar itu adalah nilai jual berikutnya. Pengunjung bukan lagi orang asli Sumatera Utara yang datang untuk berkelakar dengan sesama, tapi juga para pemburu kopi yang mendengar nama Kok Tong di Jawa sana. 

Usai menikmati suasana di Medan, cobalah mencecap secangkir kopi ini di Siantar. Seperti bumi dan langit, Kok Tong di daerah asalnya tak lebih dari warung kopi di simpang jalan yang jadi tempat persinggahan tukang becak hingga pejabat, pengangguran sampai tokei sawit, PNS hingga jurnalis.

Tak ada yang istimewa dari deretan kursi plastik dan meja kayu di warung yang tak bernama itu. Brand Kok Tong justru tertempel di bawah meja kasir yang sama sekali tidak terlihat. Satu yang menyamakannya dengan cabang Kok Tong di Medan, mereka tetap menggunakan cangkir dengan cap yang sama.(*)

Sunday, April 8, 2012

Bubur Ayam Jakarta Rasa Medan

Saya heran, saya belum pernah menemukan bubur ayam enak di Medan. Makanan ini memang tidak populer. Beberapa kawan asli Medan sangat tidak menyukai bubur ayam. Banyak yang bilang rasanya seperti makanan orang sakit.

Wajar saja jarang ada yang suka bubur ayam. Taste bubur ayam di Medan memang kurang enak. Yang mengecewakan saya sebenarnya, beberapa penjual mencatut nama "Jakarta" atau "Cirebon" di papan nama kedai atau warungnya.

Sebagai orang yang lahir di Jakarta tiba-tiba saya ikutan merasa bersalah atas pencemaran nama itu. Nama "Jakarta" yang dicatut tidak seharum bubur ayam yang mereka masak. Kawan saya yang datang dari Jakarta sumpah serapah enggan datang lagi ke warung bubur ayam itu.

Kalau saja ada UU yang mengatur aturan bahan utama dan pendukung bubur ayam Jakarta, warung itu bakal kena gugat beberapa kali. Pertama, tekstur bubur terlalu encer dan hambar, tak ada bedanya makan bubur dan minum jus.

Kedua, ingridients atau bahan campuran bubur sangat menyalah. Bubur ayam Jakarta biasanya menggunakan kacang kedelai, suwiran daging ayam, cakwe, taburan seledri potong halus (jika suka), kecap asin, dan kerupuk kampung kadang ditambah emping.

Nah, bubur ayam "Jakarta" yang ada di sini lebih suka pakai kecap kental manis, yang otomatis membuat rasa bubur mirip dengan bubur buatan rumah sakit. Bubur juga ditambah telur rebus. Kreativitas yang sebenarnya tidak perlu, karena membuat rasanya justru semakin manis dan menimbulkan efek mual yang nggak diharapkan. Tapi ada fakta baru yang saya ketahui, ternyata warung bubur ini punya penggemar tersendiri. Waah..hebat.

Buat saya, sulit mencari bubur ayam di Medan yang enak. Taste Medan lebih pas untuk nasi gurih dan mie Aceh. Dan seperti yang saya duga, di Jakarta pun sangat sulit menemukan nasi gurih enak seperti di Medan. Lain kali saya akan cerita tentang rasa nasi gurih terenak yang pernah saya makan di sini.

Jalan-jalan Menikmati Medan

Kota Medan mungkin bukan kota yang ramah bagi pejalan kaki seperti saya. Ratusan billboard yang menghiasi angkasa kota ini menanamkan pacak tiangnya membelah trotoar. Belum lagi pedagang kaki lima, ruko, dan mobil yang seenaknya makan pinggiran jalan.
Pun demikian, Medan masih bisa dinikmati. Trip dari Jalan Imam Bonjol, berbelok ke Jalan Kartini, menuju Jalan Sudirman lewat Jalan Cik Di Tiro, adalah rute favorit saya. Taman Hutan Kota di persimpangan Jalan Sudirman adalah tempat yang pas untuk sejenak melepas lelah sebelum menuju bagian kota yang lebih banyak macetnya, dan lebih sedikit pohonnya.
Jalan Sudirman menjadi tempat paling beradab di Medan. Pepohonan besar dan tinggi yang menaungi jalan ini memberi efek sejuk di tengah teriknya matahari. Pohon-pohon ini juga membingkai pemandangan Vihara Gunung Timur dan beberapa rumah peninggalan Belanda dari kejauhan. Sungai Deli melintas di kolong jembatan yang baru saja dipugar, kalau jalan ini sepi, lamat-lamat alirannya terdengar. Sebuah harmoni yang indah antara alam dan kota di tangan Tuhan.
Saya memang pecinta jalan kaki. Meski Medan panas, tapi saya harus berterima kasih pada kota yang kata orang tak lebih luas dari Jakarta Selatan ini.
Hiburan sepanjang jalan itu memang tak hanya sampai di mata saja. Di perjalanan saya dari Jalan Sisingamangaraja menuju Jalan S Parman yang saya lalui setiap hari, saya menemukan keramahan kecil dari warung gorengan di depan Masjid Raya, banyak jalan tembus yang ternyata lebih dekat dari naik angkutan umum, dan sebuah warung nasi lumayan enak serba Rp 3.500.
Dengan mudahnya, saya juga tahu di mana letak pengambilan barang jasa titipan kilat, bengkel khusus sepeda, masjid untuk etnis Madras, tukang jahit sepatu yang murah dan pemiliknya sangat ramah, serta semua tempat di sudut kota yang tak banyak orang tahu. Ssst.. semua itu hanya didapat dari jalan kaki. Hanya dengan berjalan kaki.

Sunday, January 22, 2012

Rasa Aceh dalam Secangkir Sanger


SAYA  nggak terlalu suka kopi susu. Rasa susu yang manis plus gula pasir dalam kopi hitam bikin mual. Biasanya di warung kopi saya lebih memilih kopi hitam, atau coffee latte sasetan tanpa gula atau susu di gelas kecil.

Tapi sanger memang beda! Kopi sanger memadukan kopi uleekareng khas aceh dengan susu kental. "Nggak manis kali," kata barista Keude Kupie di Medan. Saya beruntung menemukan kafe yang tidak menyembunyikan cara meramu kopi.

Barista menuang air panas dalam saringan yang mirip kaus kaki berisi bubuk kopi. Air kopi yang tersaring di dalam cangkir aluminium besar dituang ke gelas lain. Sambil menuang, barista menarik lengannya ke atas, persis seperti membuat teh tarik. Kalau tidak salah hitung, ia melakukannya dua kali.

Setelah itu baru dituangkannya ke dalam gelas kecil yang sudah ditaro susu kental sekitar dua sendok makan.  Jarak tuang sekitar setengah meter lebih, ajaibnya gelas tak bergeser apalagi tumpah.

Kopi hitam bercampur indah dalam susu kental yang putih kekuningan, mencairkan pekatnya susu menjadi cokelat muda. Hasil tuangan yang ditarik meninggalkan buih memikat dari permukaan kopi. Saya memilih sanger hangat yang menghangatkan suasana pagi dan mencairkan inspirasi.

Rasa kopi ini jelas bukan kopi susu, meski dipadu susu. Ini adalah coffee latte yang dikemas dalam gelas kecil dan tatakan ala warung kopi. Taste Aceh yang kental bikin ketagihan. Saya pun memesan gelas kedua.(*)

Friday, January 20, 2012

Pisang Batu di Balik Rujak Kolam

PEDAS LEGIT - Rujak Kolam rasanya sensasional. Pedas-pedas legit! Paduan kacang sangrai, dan pisang batu bikin lidah menari.

Murni, pedagang rujak kolam di Taman Kolam Sri Deli, menyapa hangat di depan warung rujak Guramarng miliknya. Kami memlih rujak Murni karena tergiur melihat tatanan cantik buah-buahan di stelling rujak Gumarang. Panasnya Medan rasanya bisa meleleh di olahan potongan buah segar olahan Murni dan Budi, suaminya.

Dengan cekatan Murni mencampurkan cabai, garam, adonan kacang tanah dan gula merah. Budi memotong-motong buah segar. Aroma nanas, jambu air, timun, dan mangga meruap bercampur dengan legitnya gula merah yang meleleh. Budi pun menambahkan cita rasa kedondong, jambu klutuk, pepaya, dan bengkuang. "Kalau selera, bisa ditambah pir atau belimbing," ujar Budi.

Sekejap potongan buah itu dicampur ke dalam adonan bumbu pekat berwarna cokelat di atas penggilingan batu yang kokoh. Adonan buah dan bumbu diletakkan di piring ditaburi taburan kacang yang digiling kasar. Budi meletakkan sendok plastik dan menusukkan lidi di atas olahan buah yang dijualnya Rp 12 ribu per porsi itu.


PISANG BATU - Rahasia sensasi Rujak Kolam itu ya di pisang batu ini.

"Satu yang paling khas dari Rujak Kolam ini adalah campuran pisang batu pada bumbunya. Pisang ini membuat bumbu menjadi lebih kental," ungkap pria yang sudah menjalankan usahanya selama 15 tahun ini. Pisang batu bukan hanya membuat bumbu rujak menjadi kental, namun juga sarat manfaat bagi si pemakan rujak. "Pisang batu ini obat sakit perut, cocok bagi penyuka rujak yang suka bermasalah dengan perut," ujar Budi.

Pisang batu, menurut Murni, kini banyak digunakan penjaja rujak lainnya. "Beberapa tukang rujak Aceh yang saya tahu juga sudah menggunakan pisang batu, adonan bumbu rujak memang jadi beda dengan campuran pisang ini," tandasnya. (*)


Lokasi: Belakang Kolam Sri Deli, di sebelah Masjid Raya

Plus
- Harga pas di kantung
- Citarasa lezat, lebih dari harganya. Best value!
- Penjual ramah
- Lokasi strategis
- Porsi lumayan banyak


Minus
- Lokasi di pinggir jalan dan hanya berupa warung tenda bikin tidak nyaman. Debu makcik!
- Panas banget saat siang hari
- Kebersihan harus lebih ditingkatkan

Thursday, January 19, 2012

Di Bawah Naungan Masjid Raya

Seorang bapak bertubuh besar dengan air mukanya yang dingin menegur kami yang nyelonong masuk ke dalam Masjid Raya Al Mashun. "Hei kau, mana kerudungmu? Kau pikir tempat apa ini ha?" Tanpa ingin berdebat lebih panjang, aku memasrahkan diri menerima kerudung yang mungkin sudah 10 tahun mengendap di laci si bapak penjaga. Sudah bisa dipastikan, kerudung itu tak kenal air dan sabun.

Setiap pengunjung berjenis kelamin perempuan harus mengenakan kerudung untuk masuk ke Masjid Raya, ikon kebanggaan Medan. Tak terkecuali turis asing. Toh mereka tak keberatan menerima kerudung apek dari laci bapak penjaga. Namun, tempat ini memang sakral. Di bawah naungan kemegahannya, Masjid Raya membawa suasana syahdu yang menenangkan.  

Bukan hanya menarik perhatian turis, masjid di Jalan Sisingamangaraja ini juga menjadi tempat persinggahan. Siang itu ada dua wanita PNS singgah menunggu waktu dzuhur, dan ada seorang tukang becak yang biasa mangkal di depan masjid membaca Al Quran.

Ikon Medan ini bukan sekadar tempat suci, tapi juga rumah bagi sebagian warga. Di halaman, masjid menjadi tempat berteduh beberapa pengendara sepeda motor, tempat fotografer keliling dan tour guide lepas mencari nafkah. Beberapa pedagang makanan dan suvenir berjualan, dan pengemis menunggu sekeping dua keping recehan.

Cangkir Ketiga Jadi Saudara!




"Bengawan Solo....riwayatmu kini.." keroncong berirama bossas sayup mengalun dari salah satu sudut ruangan. Alunan keroncong itu seperti hinggap di atas meja bulat dan kursi-kursi kayu ala warung kopi Tionghoa tahun 40-an, di atas foto-foto repro Medan tempo dulu, dan menu makanan dengan gaya penulisan jaman penjajahan Belanda.

Di satu sudut dekat jendela kayu, beberapa mahasiswa berkelakar, sambil menikmati penganan kecil dan minuman dingin, acuh tak acuh pada lagu keroncong. Di seberangnya, seorang pegawai pemerintahan tenggelam membaca koran.

Tak jauh darinya, beberapa pria berpenampilan necis menikmati kopi dan teh hangat dari teko, akrab berbincang. Dan seorang jurnalis asyik menikmati kopi dingin sambil berselancar internet, sambil sesekali mengangguk-angguk megikuti irama keroncong yang syahdu.


JADOEL - Selain menjual kopi, kafe Tiam Ong ini juga menawarkan suasana jadul sebagai pembeda dari kafe-kafe lain yang terus bermunculan di Kota Medan.


Seperti itulah suasana Tiam Ong Kopi Tiam dari hari ke hari. Ya, bagi pemiliknya, minum cangkir pertama sebagai orang asing, minum cangkir kedua sebagai teman, minum cangkir ketiga menjadi saudara. Filosofi Ong Sun Ching, sang pemilik warung, tertera di dinding ruangan menjadi doa.


SEGAR BERTENAGA - Es Kopi Kocok ini sangat  segar dinikmati saat panas terik dan di jam-jam ngantuk. Kopi asli sebagai bahan utama membuat tubuh kembali bertenaga!


Orang-orang yang menikmati alunan lagu keroncong bossas dan mereka yang tenggelam dalam nikmatnya kopi atau berkelakar dengan lawan jenisnya, adalah saudara warung kopi ini. Mereka yang selalu datang, pergi, dan datang lagi di kemudian hari.

Posisi Kopi Tiam Ong sangat strategis, di Jl dr Mansyur, Padang Bulan sebuah kawasan yang ramai mahasiswa. Kawasan ini sejak tahun 2000 mulai mendapuk diri sebagai pusat kuliner dan kafe. Di tengah persaingan itu, Tiam Ong muncul dengan gaya berbeda. Berdesain jadul, dan menyajikan kopi-kopi asli Sumatera Utara juga Aceh.

Saya sangat senang ke kafe ini, selain karena keramahan para pelayan juga suasana yang cozy. Tidak seperti kafe lain yang menjual live music atau hingar bingar audio. Kopi Tiam Ong justru memanjakan telinga kita dengan musik yang disetel dengan volume sayup-sayup. Benar-benar bikin rileks...Siapa yang tak suka nyeruput kopi ditemani iringan musik bossas? That's great point!





ENAK DI KANTONG -  Harga di Kopi Tiam Ong bersahabat kok di kantong kita. Mungkin karena di kawasan kampus ya....









Plus
- Tempat nyaman dan full wifi
- Pelayanan ramah
- Toilet bersih dan wangi
- Desain jadul memunculkan sensasi beda
- Harga bersahabat
- Musik bossas yang diputar di volume sayup-sayup, bikin kita tetep enak diskusi atau ngobrol sambil nyeruput kopi



Minus
- Tempat parkir terbatas
- Meja dan kursi terbatas, sehingga sering kita gak kebagian tempat di jam-jam ramai
- Kipas angin yang terbatas, kadang membuat suasana di siang bolong jadi sumuk

Seperti Menginap di Hotel Bintang Empat


Jangga Bed and Breakfast mungkin tidak didesain seperti layaknya hotel budget yang berkembang di kawasan Medan baru. Hotel mungil di tengah perumahan penduduk di Jalan Sei Tuan ini menyebut dirinya "Set As Four Stars Hotel"

Sombong? Mungkin saja. Tapi pihak hotel memang mengutamakan kebersihan dan kenyamanan, terutama di dalam setiap kamar tidur yang didesain minimalis. Ada puluhan kamar di hotel ini, dengan rate mulai Rp 295 ribu (standard) hingga Rp 475 ribu (suite) per malam.

Di dalam kamar yang dominan warna putih, pemilik hotel memanjakan tamunya dengan springbed nyaman, televisi, shower di bath room lengkap dengan peralatan mandi. Plus layanan welcome drink jus terong belanda yang akan diantarkan room boy ke kamar. Kalau Anda menginap di suite, room boy akan memberikan paket buah segar sebagai bonus.

Yang istimewa, hotel ini menyediakan kolam renang. Kolam ukuran sekitar 10 x 5 meter dengan kedalaman 1 sampai 2 meter ini sedikit banyak meyakinkan saya bahwa pemilik hotel serius menggarap penginapan bak hotel bintang empat ini.

Makan Pecal di Bawah Naungan Atap Rumbia


Bicara pecal, Warung pecal Mbak Supiah di Jalan Sei Putih Baru sering jadi pembicaraan orang. Padahal kelihatannya biasa saja. Warung beratapkan rumbia, beralaskan semen, di luar warung orang cuma duduk di pekarangan yang dipayungi terpal seadanya.

Tapi saban teng jam makan siang, deretan mobil sudah memenuhi 2 lajur jalan di depan warung yang ada di tengah perkampungan orang elit itu. Belum lagi sepeda motor di halaman.




PECAL SUPIAH -  Bumbu kacang jadi nilai plus. Membuat pecal bu Supiah lebih yummy di lidah. Tapi sebaiknya pastikan pesan  jangan terlalu manis, jika kamu ingin sensasi gurih yang lebih! 



KLOP - Temennya pecal ya cendol dan tahu isi. Klop dah kalo udah disandingin di meja!



GADO-GADO - Selain pecal, gado-gado Bu Supiah boleh dijadikan sasaran amuk perut. Hihii. 

Menu pecal Mbak Supiah tak beda jauh dari pecal lainnya. Campuran potongan daun kangkung, daun pepaya, tauge, timun, labu, tahu, tempe, dan kacang panjang, yang diuleni dengan bumbu kacang. Yang bisa dibilang istimewa adalah rasa bumbu kacangnya yang kental dan melimpah. Ditambah kerupuk ikan dan gorengan bakwan, rasa pecal jadi lebih seru.




Namun sebaiknya Anda jangan bawa pulang pecal. Sensasi makan di bawah tenda atau atap rumbia warung Mbak Supiah memang berbeda. Di tengah siang yang terik, makan di bawah naungan atap rumbia ini justru lebih sejuk, cocok untuk sejenak ngadem sambil minum es cendol (sebenarnya dawet) dan mengenyangkan perut. (*)



Plus
- Harga terjangkau
- Lokasi tengah kota, tak jauh dari Pasar Pringgan
- Adem karena beratap rumbia dan banyak pohon. Dijamin ngantuk habis makan
- Tempat terbatas. Pas waktu makan siang, kalau telat dijamin gak dapat tempat


Minus
- Tidak ada toilet khusus pembeli
- Tidak ada wastafel untuk cuci tangan
- Menu terbatas: pecal, gado-gado, gorengan, es cendol, krupuk
- Parkir mobil terbatas

Kamis Siang di Coffee Cangkir

Sejujurnya, tidak ada yang begitu istimewa di ramuan Chocolate Cream dan Rum Latte yang kami cicipi di siang yang dingin itu. Minuman cokelat dingin itu tidak begitu jauh rasanya dari cokelat di kafe dekat kampus USU atau restoran donat favorit kami di Jalan Gajah Mada. Rum di latte ini pun kurang nendang. Terlalu banyak es dan gula. Mungkin lebih baik memilih yang hangat.

Yang berbeda adalah dekorasi kafe di rumah tua bernama Coffee Cangkir ini. Rumah yang dulu selalu kulalui sepulang kerja itu biasanya kelam dan kusam dimakan zaman. Kini dia berubah menjadi rumah antik yang hidup bernafas dari halaman besar ditumbuhi rerumputan dan berhiaskan air mancur mini di depannya.

Tak begitu jelas ada berapa ruangan di dalam rumah, yang pasti hampir setiap bilik diisi kursi dan meja untuk tamu kafe. Begitu juga dengan halamannya di luar. Di hari yang cerah, nikmat juga duduk di meja luar di bawah naungan payung besar. Riuh rendah kendaraan tak begitu mengganggu, karena kafe yang terletak di Jalan DI Panjaitan ini memang agak jauh dari jalan raya.

Berbeda dari cabang utamanya di Jalan Dr Mansyur, Coffee Cangkir DI Panjaitan memang dirancang untuk pengunjung dewasa, mulai dari profesional muda, aktivis NGO, pebisnis, mahasiswa tingkat akhir, pegawai kantoran golongan menengah ke atas, dan sisanya pekerja media massa.

Sunday, January 1, 2012

Happy New Year!

Selamat Tahun Baru 2012. Ayo raih prestasi terbaik di tahun ini. Kreatif atau terjungkal!