Seorang bapak bertubuh besar dengan air mukanya yang dingin menegur kami yang nyelonong masuk ke dalam Masjid Raya Al Mashun. "Hei kau, mana kerudungmu? Kau pikir tempat apa ini ha?" Tanpa ingin berdebat lebih panjang, aku memasrahkan diri menerima kerudung yang mungkin sudah 10 tahun mengendap di laci si bapak penjaga. Sudah bisa dipastikan, kerudung itu tak kenal air dan sabun.
Setiap pengunjung berjenis kelamin perempuan harus mengenakan kerudung untuk masuk ke Masjid Raya, ikon kebanggaan Medan. Tak terkecuali turis asing. Toh mereka tak keberatan menerima kerudung apek dari laci bapak penjaga. Namun, tempat ini memang sakral. Di bawah naungan kemegahannya, Masjid Raya membawa suasana syahdu yang menenangkan.
Bukan hanya menarik perhatian turis, masjid di Jalan Sisingamangaraja ini juga menjadi tempat persinggahan. Siang itu ada dua wanita PNS singgah menunggu waktu dzuhur, dan ada seorang tukang becak yang biasa mangkal di depan masjid membaca Al Quran.
Ikon Medan ini bukan sekadar tempat suci, tapi juga rumah bagi sebagian warga. Di halaman, masjid menjadi tempat berteduh beberapa pengendara sepeda motor, tempat fotografer keliling dan tour guide lepas mencari nafkah. Beberapa pedagang makanan dan suvenir berjualan, dan pengemis menunggu sekeping dua keping recehan.
No comments:
Post a Comment