Sunday, January 22, 2012
Rasa Aceh dalam Secangkir Sanger
SAYA nggak terlalu suka kopi susu. Rasa susu yang manis plus gula pasir dalam kopi hitam bikin mual. Biasanya di warung kopi saya lebih memilih kopi hitam, atau coffee latte sasetan tanpa gula atau susu di gelas kecil.
Tapi sanger memang beda! Kopi sanger memadukan kopi uleekareng khas aceh dengan susu kental. "Nggak manis kali," kata barista Keude Kupie di Medan. Saya beruntung menemukan kafe yang tidak menyembunyikan cara meramu kopi.
Barista menuang air panas dalam saringan yang mirip kaus kaki berisi bubuk kopi. Air kopi yang tersaring di dalam cangkir aluminium besar dituang ke gelas lain. Sambil menuang, barista menarik lengannya ke atas, persis seperti membuat teh tarik. Kalau tidak salah hitung, ia melakukannya dua kali.
Setelah itu baru dituangkannya ke dalam gelas kecil yang sudah ditaro susu kental sekitar dua sendok makan. Jarak tuang sekitar setengah meter lebih, ajaibnya gelas tak bergeser apalagi tumpah.
Kopi hitam bercampur indah dalam susu kental yang putih kekuningan, mencairkan pekatnya susu menjadi cokelat muda. Hasil tuangan yang ditarik meninggalkan buih memikat dari permukaan kopi. Saya memilih sanger hangat yang menghangatkan suasana pagi dan mencairkan inspirasi.
Rasa kopi ini jelas bukan kopi susu, meski dipadu susu. Ini adalah coffee latte yang dikemas dalam gelas kecil dan tatakan ala warung kopi. Taste Aceh yang kental bikin ketagihan. Saya pun memesan gelas kedua.(*)
Friday, January 20, 2012
Pisang Batu di Balik Rujak Kolam
PEDAS LEGIT - Rujak Kolam rasanya sensasional. Pedas-pedas legit! Paduan kacang sangrai, dan pisang batu bikin lidah menari.
Murni, pedagang rujak kolam di Taman Kolam Sri Deli, menyapa hangat di depan warung rujak Guramarng miliknya. Kami memlih rujak Murni karena tergiur melihat tatanan cantik buah-buahan di stelling rujak Gumarang. Panasnya Medan rasanya bisa meleleh di olahan potongan buah segar olahan Murni dan Budi, suaminya.
Dengan cekatan Murni mencampurkan cabai, garam, adonan kacang tanah dan gula merah. Budi memotong-motong buah segar. Aroma nanas, jambu air, timun, dan mangga meruap bercampur dengan legitnya gula merah yang meleleh. Budi pun menambahkan cita rasa kedondong, jambu klutuk, pepaya, dan bengkuang. "Kalau selera, bisa ditambah pir atau belimbing," ujar Budi.
Sekejap potongan buah itu dicampur ke dalam adonan bumbu pekat berwarna cokelat di atas penggilingan batu yang kokoh. Adonan buah dan bumbu diletakkan di piring ditaburi taburan kacang yang digiling kasar. Budi meletakkan sendok plastik dan menusukkan lidi di atas olahan buah yang dijualnya Rp 12 ribu per porsi itu.
PISANG BATU - Rahasia sensasi Rujak Kolam itu ya di pisang batu ini.
Pisang batu, menurut Murni, kini banyak digunakan penjaja rujak lainnya. "Beberapa tukang rujak Aceh yang saya tahu juga sudah menggunakan pisang batu, adonan bumbu rujak memang jadi beda dengan campuran pisang ini," tandasnya. (*)
Lokasi: Belakang Kolam Sri Deli, di sebelah Masjid Raya
Plus
- Harga pas di kantung
- Citarasa lezat, lebih dari harganya. Best value!
- Penjual ramah
- Lokasi strategis
- Porsi lumayan banyak
Minus
- Lokasi di pinggir jalan dan hanya berupa warung tenda bikin tidak nyaman. Debu makcik!
- Panas banget saat siang hari
- Kebersihan harus lebih ditingkatkan
Thursday, January 19, 2012
Di Bawah Naungan Masjid Raya
Seorang bapak bertubuh besar dengan air mukanya yang dingin menegur kami yang nyelonong masuk ke dalam Masjid Raya Al Mashun. "Hei kau, mana kerudungmu? Kau pikir tempat apa ini ha?" Tanpa ingin berdebat lebih panjang, aku memasrahkan diri menerima kerudung yang mungkin sudah 10 tahun mengendap di laci si bapak penjaga. Sudah bisa dipastikan, kerudung itu tak kenal air dan sabun.
Setiap pengunjung berjenis kelamin perempuan harus mengenakan kerudung untuk masuk ke Masjid Raya, ikon kebanggaan Medan. Tak terkecuali turis asing. Toh mereka tak keberatan menerima kerudung apek dari laci bapak penjaga. Namun, tempat ini memang sakral. Di bawah naungan kemegahannya, Masjid Raya membawa suasana syahdu yang menenangkan.
Bukan hanya menarik perhatian turis, masjid di Jalan Sisingamangaraja ini juga menjadi tempat persinggahan. Siang itu ada dua wanita PNS singgah menunggu waktu dzuhur, dan ada seorang tukang becak yang biasa mangkal di depan masjid membaca Al Quran.
Ikon Medan ini bukan sekadar tempat suci, tapi juga rumah bagi sebagian warga. Di halaman, masjid menjadi tempat berteduh beberapa pengendara sepeda motor, tempat fotografer keliling dan tour guide lepas mencari nafkah. Beberapa pedagang makanan dan suvenir berjualan, dan pengemis menunggu sekeping dua keping recehan.
Setiap pengunjung berjenis kelamin perempuan harus mengenakan kerudung untuk masuk ke Masjid Raya, ikon kebanggaan Medan. Tak terkecuali turis asing. Toh mereka tak keberatan menerima kerudung apek dari laci bapak penjaga. Namun, tempat ini memang sakral. Di bawah naungan kemegahannya, Masjid Raya membawa suasana syahdu yang menenangkan.
Bukan hanya menarik perhatian turis, masjid di Jalan Sisingamangaraja ini juga menjadi tempat persinggahan. Siang itu ada dua wanita PNS singgah menunggu waktu dzuhur, dan ada seorang tukang becak yang biasa mangkal di depan masjid membaca Al Quran.
Ikon Medan ini bukan sekadar tempat suci, tapi juga rumah bagi sebagian warga. Di halaman, masjid menjadi tempat berteduh beberapa pengendara sepeda motor, tempat fotografer keliling dan tour guide lepas mencari nafkah. Beberapa pedagang makanan dan suvenir berjualan, dan pengemis menunggu sekeping dua keping recehan.
Cangkir Ketiga Jadi Saudara!
"Bengawan Solo....riwayatmu kini.." keroncong berirama bossas sayup mengalun dari salah satu sudut ruangan. Alunan keroncong itu seperti hinggap di atas meja bulat dan kursi-kursi kayu ala warung kopi Tionghoa tahun 40-an, di atas foto-foto repro Medan tempo dulu, dan menu makanan dengan gaya penulisan jaman penjajahan Belanda.
Di satu sudut dekat jendela kayu, beberapa mahasiswa berkelakar, sambil menikmati penganan kecil dan minuman dingin, acuh tak acuh pada lagu keroncong. Di seberangnya, seorang pegawai pemerintahan tenggelam membaca koran.
Tak jauh darinya, beberapa pria berpenampilan necis menikmati kopi dan teh hangat dari teko, akrab berbincang. Dan seorang jurnalis asyik menikmati kopi dingin sambil berselancar internet, sambil sesekali mengangguk-angguk megikuti irama keroncong yang syahdu.
JADOEL - Selain menjual kopi, kafe Tiam Ong ini juga menawarkan suasana jadul sebagai pembeda dari kafe-kafe lain yang terus bermunculan di Kota Medan.
Seperti itulah suasana Tiam Ong Kopi Tiam dari hari ke hari. Ya, bagi pemiliknya, minum cangkir pertama sebagai orang asing, minum cangkir kedua sebagai teman, minum cangkir ketiga menjadi saudara. Filosofi Ong Sun Ching, sang pemilik warung, tertera di dinding ruangan menjadi doa.
SEGAR BERTENAGA - Es Kopi Kocok ini sangat segar dinikmati saat panas terik dan di jam-jam ngantuk. Kopi asli sebagai bahan utama membuat tubuh kembali bertenaga!
Posisi Kopi Tiam Ong sangat strategis, di Jl dr Mansyur, Padang Bulan sebuah kawasan yang ramai mahasiswa. Kawasan ini sejak tahun 2000 mulai mendapuk diri sebagai pusat kuliner dan kafe. Di tengah persaingan itu, Tiam Ong muncul dengan gaya berbeda. Berdesain jadul, dan menyajikan kopi-kopi asli Sumatera Utara juga Aceh.
Saya sangat senang ke kafe ini, selain karena keramahan para pelayan juga suasana yang cozy. Tidak seperti kafe lain yang menjual live music atau hingar bingar audio. Kopi Tiam Ong justru memanjakan telinga kita dengan musik yang disetel dengan volume sayup-sayup. Benar-benar bikin rileks...Siapa yang tak suka nyeruput kopi ditemani iringan musik bossas? That's great point!
ENAK DI KANTONG - Harga di Kopi Tiam Ong bersahabat kok di kantong kita. Mungkin karena di kawasan kampus ya....
Plus
- Tempat nyaman dan full wifi
- Pelayanan ramah
- Toilet bersih dan wangi
- Desain jadul memunculkan sensasi beda
- Harga bersahabat
- Musik bossas yang diputar di volume sayup-sayup, bikin kita tetep enak diskusi atau ngobrol sambil nyeruput kopi
Minus
- Tempat parkir terbatas- Meja dan kursi terbatas, sehingga sering kita gak kebagian tempat di jam-jam ramai
- Kipas angin yang terbatas, kadang membuat suasana di siang bolong jadi sumuk
Seperti Menginap di Hotel Bintang Empat
Jangga Bed and Breakfast mungkin tidak didesain seperti layaknya hotel budget yang berkembang di kawasan Medan baru. Hotel mungil di tengah perumahan penduduk di Jalan Sei Tuan ini menyebut dirinya "Set As Four Stars Hotel"
Sombong? Mungkin saja. Tapi pihak hotel memang mengutamakan kebersihan dan kenyamanan, terutama di dalam setiap kamar tidur yang didesain minimalis. Ada puluhan kamar di hotel ini, dengan rate mulai Rp 295 ribu (standard) hingga Rp 475 ribu (suite) per malam.
Di dalam kamar yang dominan warna putih, pemilik hotel memanjakan tamunya dengan springbed nyaman, televisi, shower di bath room lengkap dengan peralatan mandi. Plus layanan welcome drink jus terong belanda yang akan diantarkan room boy ke kamar. Kalau Anda menginap di suite, room boy akan memberikan paket buah segar sebagai bonus.
Yang istimewa, hotel ini menyediakan kolam renang. Kolam ukuran sekitar 10 x 5 meter dengan kedalaman 1 sampai 2 meter ini sedikit banyak meyakinkan saya bahwa pemilik hotel serius menggarap penginapan bak hotel bintang empat ini.
Makan Pecal di Bawah Naungan Atap Rumbia
Bicara pecal, Warung pecal Mbak Supiah di Jalan Sei Putih Baru sering jadi pembicaraan orang. Padahal kelihatannya biasa saja. Warung beratapkan rumbia, beralaskan semen, di luar warung orang cuma duduk di pekarangan yang dipayungi terpal seadanya.
Tapi saban teng jam makan siang, deretan mobil sudah memenuhi 2 lajur jalan di depan warung yang ada di tengah perkampungan orang elit itu. Belum lagi sepeda motor di halaman.
PECAL SUPIAH - Bumbu kacang jadi nilai plus. Membuat pecal bu Supiah lebih yummy di lidah. Tapi sebaiknya pastikan pesan jangan terlalu manis, jika kamu ingin sensasi gurih yang lebih!
KLOP - Temennya pecal ya cendol dan tahu isi. Klop dah kalo udah disandingin di meja!
GADO-GADO - Selain pecal, gado-gado Bu Supiah boleh dijadikan sasaran amuk perut. Hihii.
Menu pecal Mbak Supiah tak beda jauh dari pecal lainnya. Campuran potongan daun kangkung, daun pepaya, tauge, timun, labu, tahu, tempe, dan kacang panjang, yang diuleni dengan bumbu kacang. Yang bisa dibilang istimewa adalah rasa bumbu kacangnya yang kental dan melimpah. Ditambah kerupuk ikan dan gorengan bakwan, rasa pecal jadi lebih seru.
Plus
- Harga terjangkau
- Lokasi tengah kota, tak jauh dari Pasar Pringgan
- Adem karena beratap rumbia dan banyak pohon. Dijamin ngantuk habis makan
- Tempat terbatas. Pas waktu makan siang, kalau telat dijamin gak dapat tempat
Minus
- Tidak ada toilet khusus pembeli
- Tidak ada wastafel untuk cuci tangan
- Menu terbatas: pecal, gado-gado, gorengan, es cendol, krupuk
- Parkir mobil terbatas
Kamis Siang di Coffee Cangkir
Sejujurnya, tidak ada yang begitu istimewa di ramuan Chocolate Cream dan Rum Latte yang kami cicipi di siang yang dingin itu. Minuman cokelat dingin itu tidak begitu jauh rasanya dari cokelat di kafe dekat kampus USU atau restoran donat favorit kami di Jalan Gajah Mada. Rum di latte ini pun kurang nendang. Terlalu banyak es dan gula. Mungkin lebih baik memilih yang hangat.
Yang berbeda adalah dekorasi kafe di rumah tua bernama Coffee Cangkir ini. Rumah yang dulu selalu kulalui sepulang kerja itu biasanya kelam dan kusam dimakan zaman. Kini dia berubah menjadi rumah antik yang hidup bernafas dari halaman besar ditumbuhi rerumputan dan berhiaskan air mancur mini di depannya.
Tak begitu jelas ada berapa ruangan di dalam rumah, yang pasti hampir setiap bilik diisi kursi dan meja untuk tamu kafe. Begitu juga dengan halamannya di luar. Di hari yang cerah, nikmat juga duduk di meja luar di bawah naungan payung besar. Riuh rendah kendaraan tak begitu mengganggu, karena kafe yang terletak di Jalan DI Panjaitan ini memang agak jauh dari jalan raya.
Berbeda dari cabang utamanya di Jalan Dr Mansyur, Coffee Cangkir DI Panjaitan memang dirancang untuk pengunjung dewasa, mulai dari profesional muda, aktivis NGO, pebisnis, mahasiswa tingkat akhir, pegawai kantoran golongan menengah ke atas, dan sisanya pekerja media massa.
Yang berbeda adalah dekorasi kafe di rumah tua bernama Coffee Cangkir ini. Rumah yang dulu selalu kulalui sepulang kerja itu biasanya kelam dan kusam dimakan zaman. Kini dia berubah menjadi rumah antik yang hidup bernafas dari halaman besar ditumbuhi rerumputan dan berhiaskan air mancur mini di depannya.
Tak begitu jelas ada berapa ruangan di dalam rumah, yang pasti hampir setiap bilik diisi kursi dan meja untuk tamu kafe. Begitu juga dengan halamannya di luar. Di hari yang cerah, nikmat juga duduk di meja luar di bawah naungan payung besar. Riuh rendah kendaraan tak begitu mengganggu, karena kafe yang terletak di Jalan DI Panjaitan ini memang agak jauh dari jalan raya.
Berbeda dari cabang utamanya di Jalan Dr Mansyur, Coffee Cangkir DI Panjaitan memang dirancang untuk pengunjung dewasa, mulai dari profesional muda, aktivis NGO, pebisnis, mahasiswa tingkat akhir, pegawai kantoran golongan menengah ke atas, dan sisanya pekerja media massa.
Sunday, January 1, 2012
Happy New Year!
Selamat Tahun Baru 2012. Ayo raih prestasi terbaik di tahun ini. Kreatif atau terjungkal!
Subscribe to:
Posts (Atom)