Monday, November 2, 2015

Mengenang Keagungan President Theatre

Buat saya, nonton film di bioskop, cinema XXX, atau 21 di Medan itu biasa saja. Mau yang mahal atau murah, tidak ada yang berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Namun ada satu yang selalu membuat saya betah, dan selalu ingin menonton lagi di tempat itu.

Bioskop ini memang berbeda, gedungnya pun konon disebut-sebut sebagai cagar sejarah kota. Bioskop mana di Indonesia, di tahun 2000-an, yang masih mengedarkan karcis kertas yang ditulis dengan pulpen, dijual di loket serderhana dengan kaca yang diberi lubang sejajar dengan tangan.

Bioskop ini pun menyediakan ruang menonton berbalkon, alias tingkat dua. Mirip dengan ruang pertunjukan opera. Deretan kursi yang berhadapan dengan layar raksasa membentuk setengah lingkaran. Entah kenapa menatap ruangan itu selalu membuat tubuh saya gemetar karena kagum. Saya membayangkan tempat ini dipenuhi penonton yang menyaksikan film buatan anak Sumatera Utara. Apalagi jika bioskop ini dijadikan tempat khusus memutar film-film berkualitas. Medan tak hanya akan menjadi tempat bersarangnya komunitas film lokal, tapi juga menjadi daya tarik bagi penikmat film yang mendambakan suasana menonton yang hikmad dan berbeda dari yang lain.

O iya, bicara soal layar, konon berlayar paling besar di antara bioskop di Medan. Suaranya dolby stereo. Puas nonton film apapun. Dan hampir selalu, kalau saya nonton di sana, tak banyak pengunjung, karena memang hanya ada satu theatre atau ruang menonton, dengan sedikit pilihan film. Ini membuat saya semakin keranjingan menonton di sana, karena semakin sedikit penonton, film semakin ternikmati.

Betapa puasnya menikmati layar lebar dengan ruang yang lengang dan sangat minim noise. Jujur saja, berada di tengah ruang theatre yang penuh sesak pengunjung, yang banyak di antaranya senang berbicara dengan suara yang keras, sangat membuat ill feel. Apalagi mereka yang senang mengomentari atau merespon adegan demi adegan.

Agaknya, President Theatre, bioskop favorit saya ini, memang tak lagi banyak dikunjungi penonton saat itu (sekitar tahun 2010). Ruang yang pengap, gelap, dan sering sepi itu mungkin jadi alasannya. Ditambah lagi dengan kursi-kursi lipat ala bioskop zaman dulu, yang tak senyaman kursi sofa di cinema 21.

Saya akhirnya menjadi salah satu orang yang menangis ketika bioskop ini ditutup. Kawasan mall Deli Plaza, yang menaunginya akan dirubuhkan dan katanya akan dibangun sebuah mega apartemen dan business center.

Saya bertambah sedih karena tidak satupun benda yang saya simpan sebagai kenangan. Tidak ada kertas tiket, atau foto-foto yang merekam sejarah theatre ini. Hanya sebuah kekecewaan mendalam, mengapa pemerintah kota ini tidak melindungi gedung dan peninggalan bersejarahnya.

Tidak ada sedikitpun penghargaan yang diterima gedung ini. Di penghujung "kematiannya" di sekitar bulan September 2010, Deli Plaza nampak suram, toko-toko tutup. Bahkan sebuah kafe musik jazz yang pernah jadi tempat mini konser mendiang Utha Likumahua pun tutup pintu, entah bagaimana nasibnya.

Sunday, November 1, 2015

Jangga House: Setara Bintang 4, Harga Bersahabat!

COZY - Suite room yang sangat nyaman. Dengan pool view dan televisi kabel. Sayangnya TV masih tabung.

Tak seperti hotel lain di Medan yang senang berkumpul dalam satu lokasi, Jangga House Bed and Breakfast lebih senang menyendiri dari keramaian. Tepatnya di tengah perkampungan. Hotel ini terletak di Jalan Sei Tuan, sekitar 100 meter dari depan Jalan besar, Jalan Darussalam di bilangan Medan Baru.

Dari luar bangunan lantai dua itu memang nggak kelihatan seperti hotel, tulisan yang menempel di dinding tertutup rimbunnya pohon. Sekali melintas, saya pikir bangunan itu memang cuma kantor biasa, karena saya melihat beberapa orang satpam berpakaian safari yang biasa nongkrong di pos satpam depan.

Beberapa kali melintas, baru saya sadar bahwa bangunan itu bangunan hotel. Dan seperti yag ditulis dalam taglinenya, it really is "set as four stars hotel". Cozy n luxurious. Itu anggapan saya saat saya mencoba menginap untuk sekadar melepas lelah setelah bekerja di minggu yang padat. Padahal cuma di kamar standard, kamar paling murah yang dibanderol Rp 295 ribu.

Kamar standard itu pun biasa layaknya seperti kebanyakan kamar hotel. Double bed plus sebuah televisi 21 inch, dan AC yang bikin nyaman. Di dalam kamar mandi disediakan semua peralatan mandi plus shower yang air dingin dan panas. Usai check in, tamu hotel disuguhi minuman juice terong belanda atau tomat. Ini berlaku untuk semua jenis ruangan. Standard, superior, delux, dan suite.

Tapi yang bikin nyaman adalah suasana hotel yang jauh dari kebisingan kendaraan di jalan raya. Dilengkapi wi fi, kamar ini menjadi sangat inspiratif untuk tukang nulis seperti saya. Dan tentunya memberi kenyamanan ekstra buat yang kecapekan berat dan butuh tidur panjang.




POOL VIEW - Asyiknya dapat suite room yang punya view seperti ini.

Pagi harinya, saat saya beranjak untuk sarapan, surprise, surprise.. Sebuah kolam renang berukuran 40 x 10 meter terhampar di sisi restoran. Hmm.. nyesal juga nggak tahu tentang kolam ini sejak malam. Kalau nggak, saya pasti sudah menceburkan diri dan bermain air di kolam sebelum tidur.

Satu yang bikin nyaman juga adalah desain hotel yang rada minimalis tapi tetap nggak meninggalkan sisi nyaman. Dilihat dari koridor ruang yang dipenuhi lukisan dan patung, saya langsung mengambil kesimpulan pemiliknya pasti penikmat seni yang tidak setengah hati.

Sebagai penikmat kamar hotel di hari weekend, saya tergoda untuk mencoba suite, karena ternyata harganya tak jauh dari kamar superiornya hotel bintang 3, Rp 475 ribu. (Harga tahun 2014)

Kamarnya ternyata lebih luas, terletak di lantai dua dengan jendela yang menghadap langsung ke arah kolam renang. Di dalam ada sofa, single bed, TV kabel, dan welcome drink plus buah-buahan segar. Wow!

Hanya saja sarapan di hotel ini tidak se-luxurios kamarnya. Setiap menginap, tamu disuguhi menu yang sama, nasi goreng, soto mie, dan roti bakar. Dan kalau sudah terlambat sarapan (mendekati pukul 10.00), saya hanya bisa menikmati roti bakar dengan dua macam olesan, plain butter dan strawberry jam, maklum saja, soto mie dan nasi gorengnya sudah dingin, tak lagi ternikmati.

Tapi walau bagaimana pun, hotel ini seperti surga untuk pekerja keras yang suka cari tempat tidur nyaman sesekali seperti saya. Ibarat menemukan oase di sumpeknya Medan, karena awalnya saya mengira hotel ini sekelas hotel melati yang menyediakan fasilitas standar yang kebersihannya pun ala kadarnya. (*)


SEDERHANA - Kamar mandi yang disediakan tergolong sederhana. Meski resik, tapi harusnya ada pembeda untuk suite room. Pakai Bathtube misalnya.

TERJANGKAU- Dengan harga yang terjangkau, kita bisa dapat kamar senyaman ini 


Plus
- Lokasi yang nyaman dan tenang
- Harga relatif murah untuk pelayanan hotel berbintang
- Kamar luas dan bersih
- Untuk harga yang nyaris sama dengan kamar Superior di hotel lain, anda disarankan memilih Suite room di hotel ini.


Minus
- Menu sarapan monoton dan kurang variasi
- Televisi masih tipe tabung
- Kamar mandi shower, termasuk untuk Suite room.